Sabtu, 23 Juni 2012

NKRI dalam Cengkeraman Gerakan Islam Transnasional


ISLAM sebagai agama yang mengajarkan toleransi, saat ini tengah mengalami degradasi ke bibir jurang pembusukan. Sikap-sikap intoleransi semakin dipertontokan secara telanjang di depan publik. Yang lebih memprihatinkan, perilaku kasar yang kerap menimbulkan kerusakan harta benda bahkan hilangnya nyawa manusia itu, dilakukan oleh mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai umat beriman (baca: muslim)

Padahal jika kita mencari di dalam literatur Islam, termasuk di dalam Alquran dan Alhadist, tidak ada perintah atau sunnah Nabi Muhammad untuk berperilaku semacam itu. Banyak kisah dalam sirah nabawiyyah menggambarkan bagaimana sikap manusiawi dari Sang Nabi terhadap kalangan non-muslim maupun orang yang berbeda paham dalam soal keimanan. Sebagai utusan-Nya Nabi Muhammad paham betul apa makna dari firman Allah, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan tidak ada pula paksaan dalam keberimanan (Q.S. Al Baqarah: 256 dan Yunus: 99).

Kalangan ulama Nusantara pada masa pra kemerdekaan, yang sejak awal terlibat aktif dalam kelahiran Republik ini, telah bersepakat bahwa negeri ini adalah wilayatul Islamiyah atau wilayah Islam, karena sebagian besar penduduknya muslim. Penetapan Nusantara sebagai wilayah Islam didasarkan pada keniscayaan bahwa beberapa kerajaan besar yang menguasai seluruh wilayah negeri ini, sebelum era penjajahan, adalah kerajaan Islam. Berpijak pada keyakinan itulah, meski kemudian pemerintahan Hindia Belanda menguasai negeri ini hingga tiga ratus lima puluh tahun, tidak lantas menyebabkan kewilayahan Islam itu hilang.
Kalangan ulama saat itu berpendapat bahwa negeri ini telah di-ghasab oleh pihak penjajah. Karena itu kedudukan pihak penjajah tidak lebih dari sekadar menumpang di permukaan di bumi Nusantara. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas penduduknya dalam hubungan sosialnya tetap berpegang teguh pada adat-istiadat, yang secara hakikat telah banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai syariat Islam. Oleh sebab itu wilayah Nusantara dikatagorikan sebagai daerah jajahan atau darul harb. (Abdul Mun’im DZ: 2011)
Keyakinan inilah yang kemudian tatkala tentara penjajah Belanda (NICA), dengan membonceng tentara Sekutu ketika mendarat di Surabaya, bermaksud menjajah kembali negeri ini, KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 mengeluarkan Resolusi Jihad. Dalam seruan jihad itu, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama ini dengan tegas menyatakan bahwa perlawanan itu dilakukan demi menegakkan NKRI dan Agama Islam. Perjuangan yang bersifat jihad fi sabilillah ini kemudian dikenal sebagai serangan 10 November 1945, yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Dengan kenyataan berdasarkan riwayat sejarah berdirinya Republik itu, semakin jelas bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Indonesia adalah negara republik, yang menganut sistem pemerintahan presidensiil. Karena itu negara ini mengakomodasi serta memberikan hak yang sama kepada setiap warga negaranya untuk memeluk agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara bebas. Tidak boleh ada, dari pihak mana pun baik perseorangan maupun kelompok, melakukan intimidasi, apalagi tindak kekerasan terhadap pemeluk agama yang berbeda dengan maksud dan atau tujuan apa pun.
Keyakinan mengenai pilihan bahwa negeri ini bakal menganut sistem pemerintahan republik, dapat dicermati dari peristiwa menjelang penyerahan kekuasaan bala tentara Jepang di Indonesia. Pada sekitar 1943, KH Hasyim Asy’ari, tatkala menjawab pertanyaan Pimpinan Tertinggi Tentara Jepang di Indonesia saat itu Laksamana Maeda, dengan tegas menjawab bahwa yang pantas memimpin bangsa Indonesia setelah proklaasi kemerdekaan adalah Soekarno, seorang tokoh nasionalis.

Daulah Islamiyah
Kini, Republik ini berada dalam bayang-bayang cengkeraman kelompok-kelompok garis keras yang mencita-citakan berdirinya pemerintahan Islam atau daulah Islamiyah. Sosok-sosok penganut, atau paling tidak memiliki ide yang sama dengan sekte Wahabi yang diimpor dari kawasan Timur Tengah, kini telah hadir di Republik ini dengan menumpang “kapal” Orde Reformasi. Mereka memiliki jaringan pembinaan maupun pendanaan dalam skala internasional. Sebab itu gerakan ini disebut gerakan transnasional.
Dalam beraktivitas, gerakan Islam transnasional ini tidak seluruhnya bertindak terang-terangan. Sebagian yang lain dilakukan secara tertutup dan terorganisasi secara rapi serta terstruktur. Mereka mendapatkan dana operasional dari para simpatisan di dalam negeri –baik secara sadar atau tidak sadar– serta memperoleh kucuran dana dari donatur luar negara secara teratur. Karena itulah tak mengherankan bilamana ada beberapa oknum anggota gerakan ini, menjadikan luapan dana bantuan tersebut sebagai sumber mata pencaharian.
Jika merunut sejarah perkembangan Islam, sikap intoleransi memang pernah dipertontonkan oleh sekelompok orang yang keluar dari barisan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib dalam perang Shiffin melawan Mu’awiyah. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama sekte Khawarij, yang memiliki kegemaran mengkafirkan siapa saja yang mereka anggap “berbeda” baik dalam sikap maupun pandangan. Dan, siapa pun telah dikafirkan, maka halal darahnya ditumpahkan dan hartanya dirampas. Aksi-aksi kejam dan destruktif yang dipertontonkan kelompok ekstrem ini kemudian tenggelam, sebab tak mendapatkan dukungan kaum muslimin.
Sikap dan tindakan kelompok Khawarij ini dilatarbelakangi pemahaman yang sempit tentang ajaran Islam. Mereka memahami pesan-pesan Alquran maupun hadist Rasulullah secara harfiah dan tertutup. Bagi mereka ajaran keimanan menurut Islam tidak perlu didekati dengan penafsiran, termasuk pendekatan tasawuf. Karena itu, terjadilah dengan apa yang disebut formalisme agama. Alquran maupun Alhadist diikat dalam format atau pola pandang yang sempit, subyektif, serta literalistis (baca: pembacaan secara harfiah). Kelompok ini memonopoli penafsiran mengenai ajaran Islam secara tertutup dan keras.
Pasca raibnya kelompok Khawarif, ternyata tidak sekaligus melenyapkan gerakan Islam radikal. Dengan sikap dan perilaku yang hampir sama, pada abad ke-18 lahir di jazirah Arab kelompok Wahabi. Pencetus sekte ini adalah Muhammad ibn ‘Abdul Wahab, anak dari ‘Abdul Wahab, seorang hakim di ‘Uyaynah daerah Najd, pengikut madzab Ahmad ibn Hambal. Menurut pencetusnya, literalisme tertutup terhadap teks-teks Alquran maupun Alhadist, semula ditujukan untuk maksud memurnikan ajaran Islam. Untuk tujuannya itu sekte Wahabi mengamputasi segala bentuk kompleksitas pemahaman ajaran Islam, yang telah tumbuh berkembang serta mempengaruhi dan dipengaruhi tata budaya lokal, dinamika teologi, maupun tasawuf.
Jika dicermati, gerakan transnasional yang saat ini marak berkembang di Indonesia, memiliki kesamaan yang hampir persis dengan ajaran dari sekte Wahabi. Gerakan ini tidak hanya menyerang mereka yang dituduh “kafir” karena berbeda keyakinan, tapi menyerang kepada sesama muslim yang dituduh telah “kafir”. Kafir menurut Ibn ‘Abdul Wahab, adalah lawan dari mukmin dan darahnya halal untuk ditumpahkan, sedangkan menurut Ibn ‘Arabi, kafir adalah suatu kondisi tertutup atau menolak kebenaran sejati, bahkan sumber kebenaran sejati. (Lihat: Hamid Algar dalam Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, 2009).
Secara terorganisasi, gerakan transnasional ini terus bergerak menyebarkan faham Wahabisme dengan menyusup ke berbagai lembaga pemerintahan maupun pendidikan, termasuk kalangan mahasiswa dengan menguasai lembaga dakwah di kampus-kampus. Juga, mendirikan radio amatir di beberapa daerah, yang menyiarkan materi-materi faham Wahabi, dengan kesukaan mengolok-olok praktik amaliyah kelompok Islam lainnya yang sudah turun-temurun diamalkan di negeri ini. Akibat berbagai tindakan dari gerakan ini, di beberapa kawasan sempat timbul sengketa. Maka dari itu, demi keutuhan NKRI, sudah saatnya penguasa negeri ini bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok sok alim, yang kerap melakukan tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar